Matahari yang perkasa malu-malu pergi,
tidak terburu-buru tapi berganti warna dibalik gunung nan jauh dibarat sana.
Kuning menjadi jingga, kemudian langit ufuk barat dibuatnya memerah,
beberapa saat kemudian,
hitam gelap berbaris maju perlahan pasukan malam dari timur,
seperti taburan kertas mengkilap hari ulang tahun, nampak kerlap kerlip berhamburan dilangit.
Semestaku dan semestamu, semesta orang lain juga tiba-tiba berhenti.
Keluarga merajuk manja diruang tamu,
anak perawan menanti pangerannya menjemput,
aku yang mengigil didepan laptop terus terbayang tugas kuliah yang belum selesai.
Ingin kupukul tembok didepanku,
mungkin saja memancar keluar hikmat yang macet itu.
Secangkir kopi kubuat, sebagai alasan 5 menit melepas penat didapur istri.
Semua kebahagiaan dunia ini,
baginya adalah berada didapur dan membuat masakan enak untuk suaminya.
Tapi, untuk secangkir kopi, akulah ahlinya.
Kopi dan malam, sama-sama gelap,
malampun, manis karena bintangnya, manja karena kesendirianku dan sendu karena keheningannya
seperti kopi, ada manisnya gula, manjanya kopi tak mau segera diminum habis, sendunya kopi kalau ditemani petikan gitar lagu romantika kehidupan.
Kehadiran secangkir malam disamping laptop,
tak berhasil membuat otak ini encer.
Masa depan membuntuti, menggaruk-garuk pungggungku yang tak gatal,
rese, masa lalupun ikut-ikutan menggaruk nostalgia.
Antara secangkir malam, petikan gitar, punggungku yang tak gatal dan nostagia,
Laptopku, membuka hati dan menerimaku apa adanya.
huruf dan kata, kalimat menjadi syair,
terhanyut aku dimalam yang kaku ini,
kau kujadikan sahabat.
Ketika malam, terperangkap aku,
Ketika malam, aku menjadi aku.
Komentar
Posting Komentar
Pendapatmu?