Pernahkah kita menggambar manusia?
Hampir setiap orang yang membaca pertanyaan ini akan menjawab
pernah!
Hari ini saya mencoba menggambar rupa seorang wanita.
Tetapi gambar yang saya lukiskan, bukanlah sebuah gambar fisik
diatas kertas/kanvas. Saya menggambar Elis (bukan nama sebenarnya), calon adik
ipar saya.
Elis adalah seorang gadis sederhana yang bertumbuh besar tanpa
orangtua alias anak yatim piatu. Alhasil Elis tidak tahu bagaimana bagaimana
sewajarnya seorang calon adik ipar berlaku dihadapan kami calon kakak iparnya.
Secara umum Elis jauh dari standar kualitas yang kami
inginkan.
Garis besar kelemahannya adalaH sebagai berikut:
- Elis tidak memiliki motivasi dan inisiatif kerja atau
melayani sesama dengan baik.
- Elis tidak bisa memasak selain memasak nasi dengan
- Elis tidak bisa memasak selain memasak nasi dengan
risecooker, menggoreng telur, memasak indomie rebus.
- Elis kurang menjaga kebersihan.
- Elis kurang menjaga kebersihan.
Dan masih banyak lagi kekurangan Elis.
Hingga saat saya menulis artikel ini, saya belum bisa menemukan
kemampuan Elis.
Selain semua kelemahan diatas, Elis adalah orang yang labil, ia
tak bisa berada dibawah tekanan.
Namun 2 hal yang sangat menyentuh hati saya tentang Elis ialah:
Pertama; keputusannya menerima cinta adik saya.
Suatu saat, istri saya bertanya kepadanya; mengapa kamu menerima
dia (adik laki-laki saya) sebagai calon suami kamu?
Lalu jawabnya; karena dia tidak main tangan (memukul/meninju/menampar, dll).
Lalu jawabnya; karena dia tidak main tangan (memukul/meninju/menampar, dll).
Jawaban itu menyentuh hati saya.
Betapa dari begitu banyak pertimbangan yang seharusnya dipikirkannya sebelum memutuskan mencintai seorang laki-laki dan memberi hatinya kepadanya, Elis hanya mementingkan bagaimana seorang pria memperlakukan wanita yang dicintainya, apakah dengan kelembutan atau kekerasan.
Alasan yang sederhana namun sebenarnya lahir dari pertimbangan dan
perenungan panjang selama hidup tanpa orangtua.
Sebagai anak bungsu, Elis mengalami kekerasan fisik oleh kakak2nya
baik laki-laki maupun perempuan. Maka tak heran ia memilih kelembutan sebagai
syarat mutlak bagi pria manapun yang ingin memilikinya.
Pelajaran berharga bagi saya ialah kesuksesan seorang pria tidak
terletak pada besarnya jumlah materi yang dimilikinya ataupun tingginya posisi
dan jabatan yang dapat dicapainya tetapi kesuksesan sejati seorang pria ialah
ketika ia dapat membahagiakan wanita yang dicintainya.
Hal kedua yang menyentuh hati saya tentang Elis ialah ia
benar-benar dicintai adik saya tanpa memandang latarbelakangnya.
Keluarga besar kami bukannya tak memperingatkan adik laki-laki
kami tentang semua kelemahan Elis, akan tetapi adik saya berkata kebahagiaan
hidup rumah tangga tidak diukur oleh semua kelebihan yang harus dimiliki Elis
tetapi diukur oleh ada dan tiadanya cinta.
Elis telah merebut hati adik saya.
Benarlah perkataan "Cinta itu buta". Adik saya tidak
melihat sisi gelapnya Elis tetapi melihat masa depan yang kelak dapat mereka
raih.
Sebaliknya, sebenarnya "Cinta itu tak buta". Mereka
berdua secara sederhana menjalani hari-hari mereka dengan mensyukuri apa yang
mereka miliki dan apa yang tak mereka miliki. Materi tidak menghalangi mata
hati mereka untuk saling mencintai.
Akhir dari gambaran yang saya buat ternyata menyadarkan saya
bahwa. Ketika kita melukis rupa seorang manusia, seringkali kita melukis rupa
dan tampilan mereka sesuai keinginan kita yang akhirnya menghasilkan gambaran
yang salah dan jelek.
Sebaliknya, cobalah melihat seorang manusia dari mata mereka yaitu
cara mereka melihat kehidupan ini. Maka kita akan menemukan sebuah sketsa
manusia yang utuh. Dari sketsa itu kita bisa melukis seorang manusia yang utuh,
lengkap dan baik.
Akhirnya saya bersyukur kepada Tuhan untuk hari ini, untuk
saat-saat dimana saya bisa belajar memahami pribadi lain dengan cara yang benar
dan tidak menghakimi mereka.
Komentar
Posting Komentar
Pendapatmu?